
Islamedia – Mengubah tradisi yang mengakar di masyarakat, terutama yang
bertentangan dengan ajaran Islam, tentu bukan perkara mudah. Bila terlalu
vulgar menggugat tradisi itu, maka masyarakat akan memperlihatkan
resistensinya. Dan serangan balik berupa tudingan hingga pengusiran pun akan
menimpa penggugat.
tradisi jahiliyah kaum Arab kuno pun punya cara yang bertahap. Dimulai dari
dakwah kepada keluarga terdekat dengan sembunyi-sembunyi, hingga setelah memiliki
basis massa yang cukup, Allah
perintahkan untuk berdakwah secara terang-terangan.
tak seketika itu juga menghancurkan semua berhala yang ada di dalam Ka’bah
karena mempertimbangkan kondisi psikologis masyarakat Mekkah. Meski akhirnya
Ka’bah pun bersih juga dari semua berhala yang ada.
berbagai macam tradisi yang masih dipelihara di masyarakat. Beberapa kalangan
memproteksi tradisi itu dengan label “kearifan lokal.” Dengan berbagai
keragaman suku dan budaya, beragam pula tradisi yang masih berlangsung.
menyerap nilai-nilai Islam. Misalnya dari daerah Minang, ada slogan “adaik
basandi syara’, syara’ basandi kitabullah.” Yang artinya adat bersendikan
syariat Islam, dan syariat Islam bersendikan Al-Qur’an. Daerah lain seperti
Aceh juga sangat kaya tradisi yang bernuansa Islami.
adalah tradisi jahiliyah yang bersumber dari masyarakat yang belum mengenal
Islam. Misalnya masih sering kita dengar adanya penyerahan sesaji dan sesembahan kepada
sesuatu selain Allah yang masyarakat anggap memiliki kekuatan. Na’udzubillahi
min dzalik.
kemenangan dakwah. Kita pernah dengar cerita Sunan Kalijaga yang berhasil
mengisi seni yang ada pada zamannya menjadi bermuatan dakwah. Konon kabarnya
lagu Lir Ilir adalah ciptaan beliau. Di zamannya juga diperkenalkan wayang
dengan cerita bermuatan Islami. Allahu a’lam.
Islam. Salah satu contohnya adalah larung sesaji yang masih kita dengar sampai
sekarang. Sebuah upacara di mana para penduduk menyerahkan hasil-hasil alam
pilihan ke laut. Di beberapa tempat tradisi ini masih bertahan. Antaranews.com pada
tanggal 18 November 2012 lalu memberitakan bahwa upacara ini dilakukan oleh
umat Budha Tahun Baru Sakka Jawa 1 Suro 1946. Tapi tak jarang upacara ini
dilakukan oleh masyarakat yang sudah menganut agama Islam.
menjadi catatan dalam tradisi itu. Pertama, untuk siapa sesaji diserahkan?
Islam tidak pernah mengenal acara larung sesaji. Bila ditelusuri, akan mudah
ditemukan bahwa tradisi ini sudah berlangsung sejak zaman sebelum Islam datang
ke Nusantara. Saat masyarakat belum mengenal Allah SWT sebagai Dzat Tunggal
Yang Memiliki Kekuatan Di Bumi. Sesaji diberikan pada makhluk yang dianggap
memiliki kekuatan. Jelas itu suatu bentuk kemusyrikan.
itu. Berbagai macam hasil alam dan hewan dihanyutkan ke tengah laut. Jelas
setan menyukai kemubadziran ini.
terpelajar sudah jarang – atau tidak ada lagi – yang menganggap acara larung
sesaji ini sesuatu yang harus dikerjakan. Mungkin kita bisa menunggu peralihan
generasi. Karena pada acara-acara larung sesaji, yang dominan adalah kaum
tua yang memimpin dan mengisi acara.
sebentar. Banyak umat Islam yang gemas melihat acara itu dan ingin perubahan
segera terjadi. Tapi perubahan tetap perlu penahapan.
Barat lulusan Fakultas Syariah LIPIA. Dengan latar belakang keilmuannya, jelas
ia sangat memahami bahwa larung sesaji merupakan tradisi yang melanggar
rambu-rambu ajaran Islam. Tapi ia tidak secara frontal melenyapkan acara itu.
Pamayangsari, Desa/Kecamatan Cipatujah, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat,
Ahmad Heryawan hadir untuk memberi pesan-pesan penguatan aqidah.
agung, berarti penciptanya Maha Agung. Oleh karenanya, laut ini memberikan
anugerah kepada kita lewat ikan dan lain-lain,” kata Aher, Selasa (25/12/2012).
syukur kepada Allah SWT sehingga bisa lebih meningkatkan ketakwaan kepada-Nya.
mengagumi segala ciptaan-Nya,” tuturnya.
Kabarnya, larung sesaji kali ini tanpa ada kepala kerbau/sapi.
disampaikan pada acara itu. Tetapi tetap saja acara unsur kemubadziran yang belum
hilang. Hanya saja dalam skala prioritas (aulawiyat), mencegah dosa syirik lebih
didahulukan dari mencegah dosa mubadzir. Karena dosa syirik lebih besar
daripada dosa mubadzir.
Melarang dengan kekuasaan acara larung sesaji itu mungkin saja dilakukan. Tetapi se-efektif apakah larangan itu? Acara berbau kemusyrikan mungkin hilang, tapi apakah lantas keyakinan masyarakat bisa diluruskan? Bila masyarakat tidak puas dengan larangan itu, akan ada dua kemungkinan buruk yang terjadi. Pertama masyarakat akan resisten dengan larangan tersebut – mungkin mereka tetap melakukannya. Kedua, keyakinan mereka akan adanya penguasa yang berhak diberikan sesaji, tidak hilang. Meski diberikan keterangan bahwa acara seperti ini merusak aqidah, kekecewaan yang terlanjur timbul akan menjadi penghalang masyarakat memahami pesan tersebut.
Karena itu kharisma seorang pemimpin dibutuhkan untuk memberi pemahaman yang benar pada masyarakat. Hati-hati, jangan sampai timbul resistensi, kekecewaan, atau pertanyaan pada hati masyarakat agar masyarakat bisa menerima pesan dari sang pemimpin.
Setelah misi memberi pemahaman pada masyarakat, tugas selanjutnya adalah bagaimana agar pemborosan itu tidak perlu dilakukan. Kebiasaan yang melekat beratus-ratus tahun, dan masyarakat pun sudah merasa nyaman dengan upacara itu, tentu membuat misi ini akan sulit. Namun tetap menjadi keharusan untuk dituntaskan.
Itu lah langkah seorang Ahmad Heryawan yang menjadi
pemimpin masyarakat saat berhadapan dengan dua tantangan: Menyelamatkan aqidah
masyarakat dan melestarikan kearifan lokal.

, Terimakasih telah mengunjungi Keimanan.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com, pasang iklan gratis Iklans.com dan join di komunitas Topoin.com.