Nusantara

Tragedi Malang

                                                Kericuhan antara suporter Arema dan pihak keamanan di Stadion Kanjuruhan
bersamaislam.com – Tragedi sepakbola  kembali menghangatkan wacana dunia. Tragedi di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur ini terjadi pasca pertandingan 2 klub sepakbola yaitu Arema FC vs Persebaya FC pada hari Sabtu (1/10/2022). Diselidiki, tragedi ini ternyata masuk tragedi berdarah terbesar kedua di bidang sepakbola dunia. Hal ini menggemparkan dunia sepak bola, khususnya di Indonesia.
Tragedi Kanjuruhan terjadi usai pertandingan Arema FC kalah melawan Persebaya Surabaya FC dengan skor 2-3. Arema FC menelan kekalahan dikandang sendiri, membuat suporter Arema kecewa . Tak diduga, membuat beberapa supporter turun dari tribun memasuki lapangan. Mereka berbondong-bondong berusaha mencari pemain Arema untuk melampiaskan kekecewaannya. Kapolda Jatim, Irjen Nico Afinta memaparkan kronologi tragedi Stadion Kanjuruhan Malang yang terjadi pada Sabtu (1/10/2022).
“Terkait dengan proses pertandingan tidak ada permasalahan, semuanya selesai. Permasalahan terjadi pada saat setelah selesai, terjadi kekecewaan dari para penonton yang melihat tim kesayangannya tidak pernah kalah selama 23 tahun bertanding di kandang sendiri,” kata Nico dalam konferensi pers di Polres Malang, pada Minggu (2/10/2022). 
Nico mengatakan karena suporter kecewa timnya kalah, mereka turun ke tengah lapangan dan berusaha mencari para pemain dan ofisial untuk melampiaskan kekecewaannya. “Oleh karena itu pengamanan melakukan upaya-upaya pencegahan dan melakukan pengalihan supaya mereka tidak masuk ke dalam lapangan mengincar para pemain,” ujarnya.
Kondisi semakin kacau oleh para suporter di tengah lapangan. Bahkan dari mereka ada yang berbuat anarkis. Sehingga polisi menembakkan gas air mata untuk mengontrol orang-orang dilapangan. Aparat melakukan pengamanan mengerahkan empat unit barracuda untuk ofisial dan pemain Persebaya.  Aremania menyerang petugas kepolisian hingga merusak sejumlah fasilitas stadion.
Para pemain Persebaya langsung berlari dari lapangan menuju ruang ganti untuk mengamankan diri. Mereka sempat melakukan perayaan kemenangan di ruang ganti sebelum diminta segera meninggalkan stadion. Alwi Slamat dan kawan-kawannya langsung dievakuasi untuk mencegah hal yang diinginkan. Para pemain Persebaya digiring untuk masuk ke mobil barracuda agar bisa segera diamankan.
Di belakang mereka, suporter Arema (Aremania) terlihat mengejar dan segera dihalau polisi yang berjaga di depan ruang ganti. Tak lama kemudian ofisial dan pemain Persebaya berlari menuju empat mobil barracuda yang sudah disediakan di depan stadion. Pemain Persebaya berlarian masuk ke mobil barracuda dalam waktu lima menit yang diberikan oleh aparat.
Pemain Persebaya berhasil memasuki mobil barracuda. Namun mobil tidak bisa bergerak. Jalan keluar dari stadion dipenuhi oleh para suporter Aremania. Situasi mencekam menyelimuti mobil yang ditumpangi oleh pemain Persebaya itu. Mereka tertahan satu jam didepan stadion. Tak hanya itu, suporter Aremania tak terima kekalahan sehingga beberapa dari mereka melempari batu ke arah mobil tersebut. Pemain Persebaya pun membutuhkan waktu yang lebih lama untuk tiba di Surabaya.
“Selesai pertandingan kami dikasih waktu lima menit masuk ruang ganti, terus masuk barracuda, tetapi diadang Aremania. Satu jam lebih tidak bisa jalan. Sampai Plaza Marina (Surabaya) pukul 3 (pagi), menjelang Subuh,” ucap Arif Catur Pamungkas, bek kiri berusia 23 tahun.
Tak ada konflik oleh supporter Persebaya, Bonek dengan Aremania. Lantaran suporter Bonek tidak diperkenankan hadir ke stadion. Para suporter Persebaya ingin menyambut kemenangan tim mereka di liga 1 ini dengan meriah. Namun salah satu pihak dari mereka menyarankan untuk mengurungkan hal tersebut, sebagai bentuk penghormatan duka cita yang dialami Arema.
Pihak kepolisian yang kalah jumlah, bereaksi dengan menembakkan gas air mata ke tribun. Situasi ini malahan memperparah keadaan. Lautan awan putih akibat gas air mata menutupi bagian tribun 10-14. Di sisi selatan stadion  penuh dengan orang tua, kelompok remaja, anak-anak, bahkan balita. Banyak penonton yang saling tindih dan bertumpuk-tumpukan karena panik dengan gas air mata.
Anggota Komnas HAM, Choirul Anam tak menyangkal gas air mata secara langsung menyebabkan kematian. Akan tetapi, ia menegaskan dari tindakan polisi yang menembakkan gas air mata, telah memicu kepanikan dan menyebabkan kematian banyak orang. Padahal, sebagian suporter sudah sempat terkendali sebelum polisi menembakkan gas air mata.
“Tapi semakin memanas ketika ada gas air mata. Gas air mata inilah yang penyebab utama adanya kematian bagi sejumlah korban,” kata Anam. Gas air mata ini yang menimbulkan kepanikan suporter sehingga mereka berebut keluar stadion.
“Berdesak-desakan dengan mata yang sakit, dada yang sesak. Susah napas dan sebagainya. Sedangkan pintu yang terbuka juga pintu kecil. Sehingga sepanjang ini menyebabkan kematian,” tambahnya.
Salah satu korban bernama Raffi Atha Dziaulhamdi, berusia 14 tahun. Matanya masih merah karena dampak gas air mata setidaknya lebih dari 10 hari. Pada malam tragedi yang menewaskan setidaknya 132 orang itu, Raffi duduk di Tribun 10 atau di bagian selatan Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur.
“Saya di kepulan asap (gas air mata) itu,” ucap Raffi.
Dirinya bercerita ketika gas air mata mulai ditembaki aparat ke arah tribun, dia dan teman-temannya sedang menuju pintu keluar. Dia mengaku terburu-buru untuk keluar lewat pintu di tribun 12 dan berdesak-desakan dengan penonton lainnya yang panik. Masing-masing mereka panik menghindari gas air mata.
Anggota Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF), Professor Rhenald Kasali mengatakan akan memasukkan gas air mata dalam penyelidikan mereka. Dalam hal ini TGIPF menemukan adanya gas air mata yang kadaluwarsa yang diakui pihak kepolisian.
“Itu sudah dibawa ke lab. Semuanya diperiksa. Itu adalah penyimpangan,” katanya.
TGIPF telah bekerja lebih dari satu pekan sejak tragedi Kanjuruhan terjadi. Sejauh ini mereka telah menemukan sejumlah fakta lapangan, termasuk pertanyaan-pertanyaan untuk dikonfirmasi ke sejumlah pihak yang terlibat pertandingan antara Arema FC vs Persebaya Surabaya tersebut.
Professor Rhenald mengatakan sejauh ini timnya telah menemukan fakta bahwa Stadion Kanjuruhan dirancang untuk kerumunan penonton di era 1980an.
“Sementara, kerumunan pada masa itu sudah berbeda. Banyak orang kemudian jumlahnya jauh lebih banyak,” katanya. “Pintunya seperti pintu penjara. Pintunya sliding. Yang dibuka hanya satu dua bagian tertentu. Sedangkan pintu yang besar itu tidak didorong. Kuncinya tidak ditemukan. atau tidak diberikan,” tambah Professor Rhenald.
Sebagaimana yang telah didapat, pertandingan dipaksakan untuk dilakukan pada malam hari karena dugaan “perintah” pihak tertentu. Padahal pihak kepolisian Malang menganjurkan agar pentandingan dilakukan di sore hari.
“Jadi kemungkinan besar ada orang lain yang bertanggung jawab di sana, yang melakukan, apakah melakukan penekanan, apakah melakukan perintah, sehingga tetap dilaksanakan pada malam hari,” kata Prof Rhenald. Hal ini ditambah dengan temuan lainnya bahwa pihak klub dan PSSI tidak melakukan pembinaan kepada suporter.
Anggota TGIPF, Akmal Marhali menemukan adanya kebutuhan bagi korban luka untuk mendapatkan perawatan dalam jangka panjang.
“Rawat kontrol para korban harus juga menjadi perhatian semua pihak, termasuk efek trauma dan psikologis para korban, baik yang mengalami luka berat, sedang, maupun yang luka ringan,” kata Akmal Marhali dalam keterangan tertulis. Dalam keterangan kepada media, anggota TGIPF Nugroho Setiawan juga berbagi temuan lapangannya. Tuturnya, Stadion Kanjuruhan tidak layak untuk menggelar pertandingan sepak bola dengan risiko tinggi
Tragedi Kanjuruhan telah menewaskan 132 orang. Berdasarkan data yang tercatat, 511 orang mengalami luka ringan, 46 orang mengalami luka sedang, dan 26 orang mengalami luka berat. Berita ini sangat menggemparkan sepakbola dunia, khususnya sepakbola Indonesia. Atas ratusan korban pada kejadian tersebut, menjadikan tragedi Kanjuruhan menduduki peringkat kedua tragedi berdarah sepakbola dunia. Bahkan atas kejadian hal ini, Liga 1 Sepakbola Indonesia diberhentikan.
Tragedi Kanjuruhan berada dibawah tragedi Stadion Nasional Peru yang menduduki peringkat pertama. Insiden mengerikan di Stadion NAsional Peru terjadi ketika pertandingan Timnas Peru melawan Timnas Argentina pada tahun 1964. Hal ini terjadi ketika gol terakhir dari Timnas Peru yang dianulir wasit. Alhasil, insiden ini sampai menewaskan 328 orang. Pintu stadion tidak mau terbuka, menyebabkan ratusan orang tewas berdesak-desakan, bahkan terinjak-injak.

, Terimakasih telah mengunjungi Keimanan.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com, pasang iklan gratis Iklans.com dan join di komunitas Topoin.com.

Most Popular

To Top