Takwa

Perbedaan Pandangan Ekonomi Antara Kapitalisme Dan Islam

Perbedaan Pandangan
Ekonomi Antara Kapitalisme Dan Islam
Pandangan Tentang Ekonomi

Dalam banyak literatur modern, istilah ilmu ekonomi secara umum dipahami
sebagai suatu studi ilmiah yang mengkaji bagaimana orang-perorang atau
kelompok-kelompok masyarakat menentukan pilihan. Pilihan harus dilakukan
manusia pada saat akan memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari karena setiap
manusia mempunyai keterbatasan (kelangkaan) dalam sumberdaya yang dimilikinya.
Pilihan yang dimaksud menyangkut pilihan dalam kegiatan produksi, konsumsi,
investasi, serta kegiatan distribusi barang dan jasa di tengah masyarakat.
Intinya, pembahasan ilmu ekonomi ditujukan untuk memahami bagaimana masyarakat
mengalokasikan keterbatasan (kelangkaan) sumberdaya yang dimilikinya.

Ilmu ekonomi membahas aktivitas yang berkaitan dengan: alokasi sumberdaya yang
langka dalam kegiatan produksi untuk menghasilkan barang dan jasa; cara-cara
memperoleh barang dan jasa; kegiatan konsumsi, yakni kegiatan pemanfaatan
barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan hidup; kegiatan investasi, yakni
kegiatan pengembangan kepemilikan kekayaan yang dimiliki; serta kegiatan
distribusi, yakni bagaimana menyalurkan barang dan jasa yang ada di
tengah-tengah masyarakat. Seluruh kegiatan ekonomi — mulai dari produksi, konsumsi,
investasi, serta distribusi barang dan jasa tersebut — dibahas dalam ilmu
ekonomi yang sering dipaparkan dalam berbagai literatur ekonomi kapitalis.

Pandangan sistem ekonomi kapitalis di atas — yang memasukkan seluruh kegiatan
ekonomi; mulai dari produksi, konsumsi, investasi, hingga distribusi dalam
pembahasan ilmu ekonomi — berbeda dengan pandangan sistem ekonomi Islam.
Perbedaan ini dapat diketahui dengan merujuk pada sumber-sumber hukum Islam
berupa al-Qur’an dan as-Sunnah. Dalam sebuah hadis, Rasulullah saw. bersabda:

Dua telapak kaki manusia akan selalu
tegak (di hadapan Allah) hingga ia ditanya tentang umurnya untuk apa ia
habiskan; tentang ilmunya untuk apa ia pergunakan; tentang hartanya dari mana
ia peroleh dan untuk apa ia pergunakan; dan tentang tubuhnya untuk apa ia
korbankan
. [HR .at-Tirmidzi dari Abu Barzah r.a.]

Hadis di atas memberikan gambaran bahwa setiap manusia akan dimintai
pentanggungjawabannya atas empat perkara: umur, ilmu, harta, dan tubuhnya.
Tentang umur, ilmu, dan tubuhnya, setiap orang hanya ditanya dengan
masing-masing satu pertanyaan. Tentang harta, setiap orang akan ditanya dengan
dua pertanyaan, yakni dari mana harta diperoleh dan untuk apa harta
dipergunakan. Dengan demikian, Islam mengatur dan memberi perhatian yang besar
terhadap aktivitas manusia yang berhubungan dengan harta. Dengan kata lain,
Islam memberikan perhatian yang besar pada bidang ekonomi.

Akan tetapi, pengaturan Islam dalam bidang ekonomi tidak mencakup seluruh
kegiatan ekonomi. Dalam konteks pengadaan serta produksi barang dan jasa, Islam
tidak mengaturnya; bahkan menyerahkannya kepada manusia. Islam hanya mengatur
kegiatan ekonomi yang berkaitan dengan tatacara perolehan harta (konsep
kepemilikan); tatacara pengelolaan harta, mulai dari pemanfaatan (konsumsi)
hingga pengembangan kepemilikan harta (investasi); serta tatacara
pendistribusian harta di tengah-tengah masyarakat. Pembahasan tentang pengadaan
dan produksi barang dan jasa dipandang sebagai bagian dari ilmu ekonomi. Sementara
itu, pembahasan tentang tatacara perolehan, pengelolaan, dan pendistribusian
harta dipandang sebagai bagian dari sistem ekonomi. Atas dasar ini, Islam memberikan pandangan yang
berbeda terhadap ilmu ekonomi dan sistem ekonomi.

Menurut An-Nabhani (1990), pandangan Islam terhadap masalah ekonomi dari segi
pengadaan dan produksi harta kekayaan (barang dan jasa) dalam kehidupan adalah
berbeda dengan pandangan Islam terhadap tatacara perolehan, pemanfaatan, dan
pendistribusiannya. Aspek yang pertama dimasukkan ke dalam pembahasan ilmu
ekonomi (‘ilmun iqtishadiyun) yang bersifat universal dan sama untuk setiap
bangsa di dunia, sementara aspek yang kedua dimasukkan ke dalam pembahasan
sistem ekonomi (nizhâmun iqtishadiyun) yang dapat berbeda di antara setiap
bangsa sesuai dengan pandangan hidupnya (ideologinya).

Menurut Islam, dari segi keberadaannya, harta kekayaan terdapat dalam kehidupan
secara alamiah; Allah Swt. telah menciptakannya untuk diberikan kepada manusia.
Allah Swt. berfirman dalam banyak ayat-Nya, antara lain:

Dialah Yang telah menciptakan untuk
kalian semua apa saja yang ada di bumi.
(Qs. Al-Baqarah [2]: 29).

Allahlah Yang telah menundukkan untuk
kalian lautan agar bahtera bisa berjalan di atasnya dengan kehendak-Nya, juga
agar kalian bisa mengambil kebaikannya
. (Qs. Al-Jatsiyah [45]: 12).

(Dialah) Yang menundukkan untuk kalian
apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi
. (Qs. Al-Jatsiyah [45]:
13).

Hendaknya manusia memperhatikan
makanannya. Sesungguhnya, Kami benar-benar telah mencurahkan air (dari langit),
kemudian Kami membelah bumi dengan sebaik-baiknya, lalu Kami menumbuhkan
biji-bijian di bumi itu, anggur dan sayur-sayuran, zaitun dan pohon kurma,
kebun-kebun yang lebat, buah-buahan, serta rumput-rumputan untuk kesenanganmu
dan untuk binatang-binatang ternakmu.
(Qs. ‘Abasa [80]: 24-32).

Ayat-ayat di atas serta ayat-ayat yang lain yang serupa menunjukkan bahwa Allah
Swt. menegaskan bahwa Dia-lah Yang telah menciptakan benda-benda (harta) agar
bisa dimanfaatkan oleh manusia secara keseluruhan.

Agar harta kekayaan yang telah Allah Swt. ciptakan tersebut dapat dimanfaatkan
oleh manusia, manusia tentu harus melakukan berbagai kegiatan ekonomi untuk
dapat mengelolanya. Dalam hal bagaimana manusia memproduksi harta kekayaan
dunia sekaligus meningkatkan produktivitasnya, Islam, sebagai sebuah prinsip
hidup, tidaklah menetapkan cara dan aturan pengelolaan yang khusus. Tidak
terdapat satu keterangan pun, baik yang berasal dari al-Qur’an maupun
as-Sunnah, yang menjelaskan bahwa Islam ikut campur dalam menentukan bagaimana
cara memproduksi harta kekayaan tersebut. Justru sebaliknya, kita malah
menemukan banyak keterangan yang menjelaskan bahwa syariat Islam telah
menyerahkan kepada manusia ihwal menggali dan memproduksi kekayaan tersebut.
Diriwayatkan bahwa Nabi saw. pernah memberi nasihat kepada orang yang sedang
melakukan penyerbukan kurma. Setelah orang tersebut mengikuti nasihat Nabi saw,
ternyata orang tersebut mengalami gagal panen. Setelah hal itu disampaikan
kepada Nabi saw., beliau bersabda:

Kalianlah yang lebih tahu tentang
(urusan) dunia kalian
. [HR. Muslim dari Anas ra.].

Ada juga hadis yang menjelaskan bahwa Nabi saw. telah mengutus dua orang Muslim
berangkat ke Yaman untuk mempelajari industri persenjataan.

Semua ini menunjukkan bahwa syariat telah menyerahkan masalah bagaimana
memproduksi harta kekayaan tersebut kepada manusia sesuai dengan keahlian dan
pengetahuan mereka. Semua ini, menurut pandangan ekonomi Islam, dimasukkan ke
dalam pembahasan ilmu ekonomi yang bersifat universal sehingga boleh dipelajari
dan diambil dari manapun asalnya; apakah dari Barat maupun dari Timur.

Berbeda halnya dengan aktivitas ekonomi yang menyangkut tatacara perolehan,
pengelolaan (konsumsi dan investasi), dan pendistribusian harta. Dalam hal ini,
Islam mengaturnya secara jelas. Hal ini bisa dipahami dari hadis tentang
pertanyaan Allah Swt. kepada manusia pada Hari Kiamat kelak, bahwa mereka akan
dimintai pertanggungjawaban tentang hartanya: dari mana serta dengan cara apa
ia memperolehnya; juga tentang bagaimana ia memanfaatkan hartanya tersebut
mulai dari kegiatan konsumsi sampai dengan pendistribusiannya. Pengaturan Islam
dalam bidang ini juga dapat dilihat dari hukum-hukum fikih praktis yang
mengatur seluruh kegiatan tersebut, seperti hukum tentang sebab-sebab
kepemilikan harta; hukum tentang pengembangan kepemilikan harta seperti
jual-beli, syirkah (perseroan) dan lain-lain.

Dari segi tatacara perolehan harta kekayaan, Islam telah mensyariatkan
hukum-hukum tertentu dalam rangka memperoleh harta kekayaan, seperti hukum
berburu, menghidupkan tanah mati, kontrak jasa, industri, waris, hibah, wasiat,
dan lain sebagainya. Demikian juga dalam masalah pemanfaatan harta kekayaan,
Islam mengatur secara jelas. Misalnya, Islam mengharamkan pemanfaatan beberapa
bentuk harta kekayaan seperti minuman keras, bangkai, daging babi. Selain itu,
Islam juga mensyariatkan hukum-hukum tertentu tentang pendistribusian harta
kekayaan melalui pemberian harta oleh negara kepada masyarakat; pembagian harta
waris; pemberian zakat, infak, sedekah, wakaf, dan lain sebagainya.

Oleh karena itu, jelas bahwa Islam telah memberikan pandangan (konsep) tentang
sistem ekonomi, sementara tentang ilmu ekonomi Islam menyerahkannya kepada
manusia. Dengan kata lain, Islam telah menjadikan perolehan dan pemanfaatan
harta kekayaan sebagai masalah yang dibahas dalam sistem ekonomi. Sebaliknya,
secara mutlak, Islam tidak membahas bagaimana cara memproduksi kekayaan dan
faktor produksi yang bisa menghasilkan harta kekayaan, karena hal itu termasuk
dalam pembahasan ilmu ekonomi yang bersifat universal.

Menurut Az-Zein (1981) dan juga An-Nabhaniy (1995), Islam membedakan pembahasan
ekonomi dari segi pengadaan serta peningkatan produktivitas barang dan jasa
dengan pembahasan ekonomi dari segi tatacara memperoleh, memanfaatkan, dan
mendistribusikan barang dan jasa. Pembahasan ekonomi dari segi yang pertama
dimasukkan ke dalam pembahasan ilmu ekonomi. Sementara itu, pembahasan ekonomi
dari segi yang kedua dimasukan ke dalam pembahasan sistem ekonomi.

Ilmu ekonomi, menurut pandangan Islam, adalah ilmu yang membahas tentang proses
pengadaan dan peningkatan produktivitas barang dan jasa — artinya berkaitan
dengan aspek produksi. Harta kekayaan sifatnya ada secara alami. Upaya
mengadakan dan meningkatkan produktivitasnya pun dilakukan manusia secara
universal. Oleh karena itu, pembahasan tentang ilmu ekonomi merupakan
pembahasan yang universal pula sesuai dengan perkembangan sains dan teknologi.
Karena ilmu ekonomi tidak dipengaruhi oleh pandangan hidup (ideologi) tertentu
dan bersifat universal, maka ia dapat diambil dari manapun selama bermanfaat.

Sedangkan sistem ekonomi terkait dengan masalah kepemilikan harta kekayaan
serta bagaimana cara memanfaatkan, mengembangkan, dan mendistribusikannya
kepada masyarakat.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, Islam membedakan pembahasan ekonomi
dari segi produktivitas barang dan jasa serta teknik-teknis yang paling efisien
— yang dimasukkan dalam pembahasan ilmu ekonomi — dengan pembahasan ekonomi
dari segi cara memperoleh, cara memanfaatkan serta cara mendistribusikan barang
dan jasa — yang dimasukkan ke dalam pembahasan sistem ekonomi.

Sementara itu, sistem ekonomi kapitalis menjadikan pembahasan ilmu ekonomi dan
sistem ekonomi sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Bahkan, sistem
ekonomi kapitalis telah menjadikan pembahasan sistem ekonomi sebagai bagian
dari ilmu ekonomi yang berlaku universal. Artinya, pembahasan ekonomi dari segi
pengadaan serta peningkatan produktivitas barang dan jasa serta dari segi
tatacara perolehan, pemanfaatan, dan pendistribusiannya disatukan semuanya
dalam lingkup pembahasan ilmu ekonomi. Padahal, terdapat perbedaan mendasar di
antara keduanya.

Dengan penjelasan ini, dapat kita ketahui dan pahami, bahwa pembahasan sistem
ekonomi sangat dipengaruhi oleh pandangan hidup tertentu dan tidak berlaku
secara universal. Oleh karena itu, sistem ekonomi dalam pandangan ideologi Islam
tentu berbeda dengan sistem ekonomi dalam pandangan ideologi kapitalis ataupun
ideologi sosialis-komunis.

Perbedaan Pandangan Ekonomi Antara Kapitalisme Dan Islam
Dari: Kehidupan Ekonomi Dalam Daulah Khilafah Islamiyah
Oleh:
Muhammad Riza Rosadi
hayat-ul-islam


, Terimakasih telah mengunjungi Keimanan.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com, pasang iklan gratis Iklans.com dan join di komunitas Topoin.com.

Most Popular

To Top