Headline

Memudahkan Orang Lain, Tak Mudah Tapi Mungkin

Islamedia“Memudahkan urusan orang lain itu, bagian dari sedeqah, Jeng”


Itu
balasan singkat yang mampir di WA-bu Ani, dari pak Anang, suaminya.
Pesan yang membalas laporan bu Ani bahwa rasa-rasanya mereka salah
memperhitungkan harga rumah yang rencana akan mereka jual. Dari tawaran
kepada umum 250 juta, lalu karena yang berminat tetangga mereka sendiri
(di rumah itu) yang sangat baik, mereka turunkan menjadi 200 juta.
Ternyata harga segitu pun masih ditawar lagi, yang akhirnya disepakati
lah, dilepas dengan harga 175 juta. Nah, karena yang mau beli ternyata
agak merasa berat kalau bayar jreng dimuka, diputuskanlah 100 juta di bayar cash dan sisanya dicicil dalam waktu dua tahun.

Beberapa
lama kemudian, bu Ani mengumpulkan berkas dokumen rumah tersebut.
Kaget juga saat dia tahu NJOP rumah itu sekarang 233 juta, dengan luas
tanah 124 meter persegi di tengah ibukota. Lha? Kemarin kok terlanjur
mau dilepas 175 juta? Wah harus diskusi ulang ini dengan suami.
Begitulah, instink perempuannya mulai berhitung. Ngulik soal duit.

Hal
inilah yang dilaporkan bu Ani pada suaminya. Tapi… ternyata pak
Anang menjawab dengan tenang, seperti di atas. Lalu disambungnya
lagi,”Gakpapa segitu. Toh kita juga sudah mendapat manfaat dari rumah
itu. Sudah tinggal di sana 6 tahun, dan kita juga masih untunglah kalau
dibanding harga belinya dulu”

“Yee, ayah. Harganya sih
seolah naik berlipat dari harga beli. Namanya juga tanah dan rumah.
Didiamin aja harganya juga pasti naik sendiri. Tapi nilai uangnya belum
tentu naik lho. Hari gini, inflasi suka gak kira-kira. Terus, untuk
renovasi beberapa kali kan kita keluar puluhan juta juga, sebenarnya”,
begitu pikir bu Ani dalam hati.

Tapi benar-benar cuma dalam hati, karena bu Ani langsung mengiyakan keputusan suaminya. Ya sudah, sami’na wa atho’na. Bagaimanapun, suaminya adalah qawwam-nya.

“Semoga
saja, kalaupun di dunia untungnya sangat tipis atau tidak mendapat
untung, tapi keuntungan berlipat di akherat lah yang akan kami dapat,”
harap bu Ani.

Bu Ani mencoba legawa. Karena memang bukan
sekali dua pak Anang mengambil kebijakan seperti ini. Kebijakan soal
uang atau kekayaan. Membebaskan hutang jutaan pada teman yang dirasa
sulit untuk terbayarkan karena penghasilannya tak tentu, setelah
melihat sendiri teman tersebut berusaha membayar tapi tak juga belum
berkemampuan sehingga beerapa kali minta penangguhan waktu.

Memberikan
kontraprestasi satu tahun pemutihan cicilan hutang (yang total
hutangnya hampir seratus juta, dijanjikan akan dicicil dalam 5 tahun)
pada seorang sahabat yang rajin membayar cicilan hutangnya, karena
merasa bahwa dia adalah orang yang dapat dipercaya.

Meminjamkan
mobil pribadi mereka kepada siapa saja yang membutuhkan, dan tak merasa
berang saat suatu hari mobil itu pulang kandang dalam kondisi
baret-baret panjang serta sedikit penyok di sudutnya. Bu Ani yang sempat
cemberut, disadarkan dengan ucapan Pak Anang, “Mereka pinjam mobil kan
karena gak mampu nyarter, Jeng. Lha kalau mampu ya tentu pilih mobil
carteran yang jauh lebih bagus. Kalau ada celaka2nya sedikit begini, toh
nggak disengaja juga. Gakapapalah”.

Juga tak merasa ‘ada masalah’
saat suatu kali BPKB motor mereka dipinjam teman untuk dijadikan
jaminan mendapatkan pinjaman ke suatu lembaga, tetapi BPKB tersebut
akhirnya hilang. Pak Anang malah bilang “Ya sudahlah, nanti motornya
kita kasih aja ke siapa yang mau. Kan sudah bodong ini jadinya, Gak bisa lagi diperpanjang STNK, kecuali kalau lapor polisi bikin berita kehilangan”.

Dan
… selalu saja bu Ani yang protes lebih dulu, tapi lalu tersadar saat
suaminya menjelaskan dengan arif dan menyejukkan. Ah, perempuan, kalau
urusan duit memang cenderung medit.

Sungguh bu
Ani bersyukur. Dari suaminya, dia banyak belajar untuk meletakkan harta
di tangan saja, jangan sampai dibawa ke hati. Karena toh sebenarnya
harta itu tak pernah benar-benar mereka miliki. Mereka hanya dititipi,
untuk mengelolanya dengan baik, hingga akhirnya harta itu harus
dikembalikan pada pemiliknya yang sejati. Bahkan bukan hanya harta,
mereka pun si peminjam harta, juga akan diminta-Nya kembali.

Justru,
harta yang telah disedekahkan itulah yang tidak lagi sebagai pinjaman,
tapi menjadi deposito abadi mereka di sana, yang semoga devidennya
nanti dapat menyelamatkan mereka sekeluarga dari api neraka, membimbing
mereka beriringan menuju surga.Bismillah…

Bu Ani
lantas ingat ucapan Pak Ady, pemilik rumah sebelumnya sewaktu bu Ani
dan Pak Anang menemuinya untuk membeli rumah itu, yang dijual dengan
harga jauh di bawah harga pasaran. Pak Ady hanya berkata, “Urip iki lak mung mampir ngombe to Mas, Mbak”
(hidup ini kan hanya untuk mampir minum saja-red). Bahkan, karena
kondisi keuangan mereka sangat cekak waktu itu, Pak Ady bersedia
melepaskan rumahnya dengan pola tunai berjangka. 50% dibayar cash di
awal, dan 50% sisanya dicicil selama setahun sesudahnya. Alhamdulillah,
kemudahan yang membuat mereka akhirnya memiliki rumah, tak lagi jadi
kontraktor.


Ya, dan pembelajaran dari pak Ady dalam hal
memudahkan orang lain itu, benar-benar meresap dalam hati mereka berdua,
lalu berniat akan meneruskan cara yang sama, Insya Allah 🙂


———


*Terima kasih Mas,
untuk pembelajaranmu tentang hakekat hidup di dunia ini yang sementara saja

Mukti Farid


[islamedia]

, Terimakasih telah mengunjungi Keimanan.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com, pasang iklan gratis Iklans.com dan join di komunitas Topoin.com.

Most Popular

To Top