JANGAN BERMUDAH MUDAH MENYAMPAIKAN HADITS
SEBELUM TAHU KEDUDUKANNYA
Disusun oleh : Azwir B. Chaniago
Pada sebelum dan juga dalam bulan Ramadhan
kita sering mendengar hadits lemah, palsu bahkan tak jelas asal usulnya. Dan
sangat banyak pula kita membaca hadits seperti itu melalui media sosial.
Terutama sekali dalam bentuk tulisan dengan mengutip hadits hadits yang tak
jelas kedudukannya.
Salah satu contoh hadits lemah sekali tentang
tidur orang berpuasa adalah ibadah, yaitu : Keterangan ini disandarkan pada suatu
hadits (?) yang cukup masyhur yaitu : “Shamtush shaa-imi tasbiihun. Wa
nuumuhu ‘ibaadatun, wa du‘aa-uhu mustajabun, wa ‘amaluhu
mudhaa-‘afun” Diamnya orang yang berpuasa adalah tasbih, TIDURNYA ADALAH
IBADAH, doanya mustajab dan amal dilipat gandakan. (H.R ad Dailami dari Ibnu
Umar).
Tapi ketahuilah bahwa para ahli hadits
menilai sanad hadits ini adalah dha’if jiddan atau LEMAH SEKALI.
Jadi tidaklah bisa dijadikan hujjah. Syaikh al Albani dalam Silsilah Hadits
Dha’if dan Maudhu’ nomor 3784 menjelaskan bahwa kelemahannya ada pada seorang
diantara perawinya yaitu Rabi’ bin Badr. Dia adalah seorang rawi yang
ditinggalkan.
Oleh karena itu, ketika mendengar atau membaca
satu hadits, maka seorang hamba hendaklah menahan diri untuk TIDAK SERTA
MERTA menyampaikan kepada orang lain. SUNGGUH
SANGAT PENTING untuk mengetahui lebih dahulu tentang kedudukan suatu hadits
sebelum disampaikan atau disebarkan. Dalam
perkara ini paling tidak ada tiga hal yang patut menjadi perhatian
kita.
Pertama :
Jika seseorang belum mengetahui kedudukan suatu hadits lalu disebarkan kan kepada
orang lain dengan lisan maupun tulisan maka ini suatu yang tercela. Bukankah
semua yang kita ucapkan dan kita lakukan harus dipertanggung jawabkan dihadapan
Allah Ta’ala. Perhatikanlah firman Allah Ta’ala :
وَلَا تَقْفُ
مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ ۚ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ
أُولَٰئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا
Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang
tidak kamu ketahui. Karena pendengaran, penglihatan dan hati nurani, semua itu
akan diminta pertanggung jawabannya. (Q.S al Isra’ 36).
Kedua :
Jika seseorang belum mengetahui kedudukan suatu hadits maka sangatlah terpuji
jika dia mencari tahu kepada yang lebih mengetahui sebelum menyampaikan secara
lisan ataupun tertulis melalui media sosial dan yang lainnya. Allah Ta’ala
berfirman :
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُون
Maka bertanyalah kepada orang orang yang
berilmu jika kamu tidak mengetahui. (Q.S al Anbiyaa 7).
Jikalau seseorang belum mengetahui kedudukan
suatu hadits lalu disebarkan dan ternyata derajat hadits itu tidak shahih dan
tidak hasan maka jika diamalkan oleh
yang mendengarkannya maka bisa jadi mendatangkan kekeliruan.
Ketiga :
Jika seseorang sudah mengetahui kedudukan suatu hadits itu
dha’if ataupun maudhu’ lalu disampaikan kepada orang
banyak tanpa menjelaskan derajat atau kedudukan hadits maka ini suatu yang
lebih tercela lagi yaitu berdusta atas nama Rasulullah Salallahu ‘alaihi
Wasallam. Beliau telah mengingatkan
perkara ini :
إِنَّ كَذِبًا عَلَىَّ لَيْسَ كَكَذِبٍ
عَلَى أَحَدٍ ، مَنْ كَذَبَ عَلَىَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ
النَّارِ
Sesungguhnya berdusta atas namaku tidaklah
sama dengan berdusta pada selainku. Barangsiapa yang berdusta atas namaku
secara sengaja, maka hendaklah dia menempati tempat duduknya di neraka.” (H.R
Imam Bukhari dan Imam Muslim).
Oleh karena itu seorang hamba hendaklah
berhati hati untuk menyebutkan, menulis, menyebarkan suatu hadits lewat medsos
ataupun yang lainnya. Insya Allah ada manfaatnya bagi kita semua. Wallahu A’lam.
(2.298)

, Terimakasih telah mengunjungi Keimanan.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com, pasang iklan gratis Iklans.com dan join di komunitas Topoin.com.








