Uncategorized

Gigi palsu dimayat

Apa hukum memasang implant gigi?
Gigi palsu? Apakah jika seorang meninggal gigi palsu itu harus ditanggalkan?
JAWAB : Memasang gigi (palsu) itu merupakan suatu hajat/kebutuhan bagi orang yang tidak ada lagi giginya untuk bisa mengunyah makanan sebelum ditelan atau untuk membantu pencernaan makanan.
Di samping itu, orang yang tidak ada gigi tidak bisa membaca al-Qur’an secara baik.
Ada beberapa hadits yang bisa kita jadikan acuan dalam masalah ini, diantaranya :
Pertama, hadits dari Urfujah bin As’ad radhiyallahu ‘anhu,
أَنَّهُ أُصِيبَ أَنْفُهُ يَوْمَ الْكُلَابِ فِي الْجَاهِلِيَّةِ، فَاتَّخَذَ أَنْفًا مِنْ وَرِقٍ فَأَنْتَنَ عَلَيْهِ فَأَمَرَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَتَّخِذَ أَنْفًا مِنْ ذَهَبٍ
Bahwa hidung beliau terkena senjata pada peristiwa perang Al-Kulab di zaman jahiliyah. Kemudian beliau tambal dengan perak, namun hidungnya malah membusuk. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya untuk menggunakan tambal hidung dari emas. (HR. An-Nasai 5161, Abu Daud 4232, dan dinilai hasan oleh Al-Albani).
Hadits dari Ibn Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau mengatakan:
لُعنت الواصلة والمستوصلة والنامصة والمتنمصة والواشمة والمستوشمة من غير داء
“Dilaknat orang yang menyambung rambut, yang disambung rambutnya, orang yang mencabut alisnya dan yang minta dicabut alisnya, orang yang mentato dan yang minta ditato, selain karena penyakit.” (HR. Abu Daud 4170 dan dishahihkan Al-Albani).
Dalam riwayat lain, dari Ibn Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan,
نهى عن النامصة والواشرة والواصلة والواشمة إلا من داء
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang orang mencukur alis, mengkikir gigi, menyambung rambut, dan mentato, kecuali karena penyakit. (HR. Ahmad 3945 dan sanadnya dinilai kuat oleh Syuaib Al-Arnaut).
As-Syaukani mengatakan, sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘kecuali karena penyakit’ menunjukkan bahwa keharaman yang disebutkan, jika tindakan tersebut dilakukan untuk tujuan memperindah penampilan, bukan untuk menghilangkan penyakit atau cacat, karena semacam ini tidak haram. (Nailul Authar, 6/244).
Berdasarkan keterangan di atas disimpulkan, semua intervensi luar yang mengubah keadaan tubuh kita hukumnya dibolehkan jika tujuannya dalam rangka pengobatan, atau mengembalikan pada kondisi normal. Dan ini tidak termasuk mengubah ciptaan Allah yang terlarang
Ahmad asy-Syarbasi menukil pendapat Imam Abu Hanifah, Muhammad asy-Syaibani dan Abu Yusuf, mereka membolehkan menguatkan gigi dengan perak jika diperlukan.
Hal itu mereka kiaskan dari menguatkan hidung dengan perak. Di dalam buku-buku sejarah ada riwayat bahwa seorang sahabat bernama ‘Arfajah dalam suatu peristiwa tulang hidungnya patah.
Nabi shallallahu ‘alaihi wassallam memperbolehkan menggantikan tulang hidung yang patah itu dengan emas, karena hal itu suatu darurah, lalu oleh ulama-ulama Hanafi dikiaskan hal itu kepada menguatkan gigi dengan perak juga boleh. (يسألونك من الدين والحياة juz 2 halaman 239).
Begitupun juga dengan pendapat ulama kontemporer yang membolehkan pemasangan gigi implant untuk pengobatan.
“Tidak masalah mengobati gigi yang rusak atau cacat, dengan gigi lain, sehingga bisa menghilangkan resiko sakit, atau melepasnya kemudian diganti gigi palsu, jika dibutuhkan. Karena semacam ini termasuk bentuk pengobatan yang mubah, untuk menghilangkan madharat. Dan tidak termasuk mengubah ciptaan Allah, sebagaimana yang dipahami penanya.” (Fatawa Lajnah Daimah, 25/15).
Keterangan yang sama juga disampaikan oleh Imam Ibn Utsaimin, “Boleh bagi seseorang ketika ada giginya yang rontok, untuk diganti dengan gigi palsu, karena semacam ini termasuk bentuk menghilangkan cacat tubuh.
Sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan salah seorang sahabat yang terpotong hidungnya, untuk menambal hidungnya dengan perak. Namun malah membusuk.
Kemudian beliau mengizinkan menambal hidungnya dengan emas. Demikian pula gigi. Ketika ada gigi seseorang yang rontok, dia boleh memasang gigi palsu sebagai penggantinya, dan hukumnya tidak masalah. (Fatawa Nur ‘ala Ad-Darb, volume 9).
Para ulama menegaskan bahwa tidak wajib mengambil benda asing yang ada pada tubuh mayit. Makna tidak wajib, artinya keberadaan barang itu di tubuh mayit, tidak memberikan dampak apapun bagi mayit.
Keberadaan benda itu, tidaklah menyebabkan si mayit menjadi tertahan amalnya atau dia tidak tenang, atau keyakinan semacamnya. al-Mardawi al-Hambali (w. 885 H) mengatakan,
“Dalam kitab al-Fushul dinyatakan, jika ada orang yang butuh untuk mengikat giginya dengan emas, kemudian giginya diberi kawat emas. Atau dia butuh hidung emas, kemudian dia diberi hidung emas lalu diikat, kemudian dia mati, maka tidak wajib dilepas dan dikembalikan kepada pemiliknya. Karena melepasnya menyebabkan menyayat mayat.” (al-Inshaf, 2/555).
Dari keterangan di atas, pada prinsipnya melepas benda yang ada di jasad mayit tidak diperbolehkan, kecuali jika ada 2 pertimbangan
Ada maslahat besar untuk mengambil benda itu, misalnya karena nilainya yang mahal atau karena benda yang ada di tubuh mayit itu najis.
Tidak membahayakan bagi mayit, misal tidak menyebabkan harus menyayat mayit. Selain itu, tidak diperbolehkan mengambilnya.
Jika benda itu tidak bernilai, tidak masalah dikubur bersama mayit, seperti gigi yang bukan emas atau perak, atau hidung palsu yang bukan emas.
Namun jika benda itu bernilai, maka boleh diambil, kecuali jika dikhawatirkan akan merusak badan mayit, misalnya ketika gigi itu diambil akan merusak rahang, maka gigi itu dibiarkan untuk dikubur bersama mayit.” (as-Syarh al-Mumthi, 5/283).
________________________________________
Gigi Palsu dijenazah
Ada yang meninggal, jenazahnya punya gigi palsu, nah kita lupa mencabutnya, nah bagaimana hukum gigi palsu tersebut?
Jawaban:
Bismillah, wassholatu wassalamu ‘ala Rasulillah, wa ‘ala Aalihi wa Ash-habihi ajma’in, Amma Ba’du.
Saudara/saudari yang kami muliakan, memakai gigi palsu adalah sebuah keadaan yang dibolehkan jika gigi seseorang telah rusak/patah, kebolehan memakai gigi palsu adalah berdasarkan hadits Rasulullah ﷺ ketika salah seorang sahabat beliau yang bernama Arfajah bin As’ad Radhiyallahu ‘anhu terpotong hidungnya saat perang al-Kulab di masa jahiliyyah, lalu ia membuat hidung palsu dari perak, tetapi justru hidungnya menjadi busuk, kemudian Nabi ﷺ memerintahkan kepadanya untuk membuat hidung dari emas, dan beliaupun membuatnya (HR. Abu Daud: 3696, An-Nasa’i: 5070)
Di dalam Sunan at-Tirmidzi disebutkan:
وقد روى غير واحد من أهل العلم أنهم شدوا أسنانهم بالذهب وفي الحديث حجة لهم
“Banyak di antara para ulama yang meriwayatkan bahwa mereka memperkokoh gigi-gigi mereka dengan emas (gigi palsu), mereka berhujjah dengan hadits tersebut” (HR. Tirmidzi: 1692).
Sehingga dengan ini para ulama membolehkan seseorang untuk menambal giginya yang patah/rusak dengan gigi palsu, baik dari emas ataupun dengan bahan lainnya, jika hal ini dibutuhkan.
Namun, ketika seseorang meninggal dunia, tentu saja muncul pertanyaan bagi orang-orang yang mengurus jenazahnya terkait sikap kita terhadap gigi palsu tersebut, dalam hal ini perlu dibedakan antara dua hal:
1. Gigi palsu dari emas/perak
2. Gigi Palsu dari bahan selain emas/perak
Jika gigi palsu terbuat dari emas/perak maka telah dijelaskan oleh para ulama, di antaranya adalah perkataan Ibnu Qudamah rahimahullah:
قَالَ أَحْمَدُ، فِي الْمَيِّتِ تَكُونُ أَسْنَانُهُ مَرْبُوطَةً بِذَهَبٍ: إنْ قَدَرَ عَلَى نَزْعِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَسْقُطَ بَعْضُ أَسْنَانِهِ نَزَعَهُ، وَإِنْ خَافَ أَنْ يَسْقُطَ بَعْضُهَا تَرَكَهُ
“Imam Ahmad berkata perihal jenazah yang giginya diikat oleh emas: Jika dimungkinkan untuk mencopot/menanggalkannya tanpa mengakibatkan tercopotnya gigi-gigi yang lain, maka hendaklah dicopot, dan apabila ditakutkan akan membuat gigi-gigi yang lain copot maka dibiarkan” (Al-Mughni: 2/404)
Syaikh Abdul Aziz bin Baaz rahimahullah ketika ditanyakan tentang hal ini maka beliau menjawab:
المشروع نزعها لأنها مال فلا ينبغي أن يضاع, الرسول صلى الله عليه وسلم كره إضاعة المال وسخط أضاعة المال, فينبغي أن ينزع إذا تيسر ذلك, أما إذا لم يتيسر فلا حرج, وإذا أراد أهلها أن ينزعوها منه بعد الموت بأيام فلا بأس
“Yang disyari’atkan adalah mencopot/menanggalkannya, karena gigi palsu berupa emas/perak tersebut adalah harta, dan harta tidak boleh disia-siakan, Rasulullah ﷺ telah benci dan marah terhadap perbuatan menyia-nyiakan harta, maka seharusnya gigi palsu tersebut dicopot apabila memungkinkan, namun jika tidak memungkinkan maka hal ini tidak mengapa. Dan apabila keluarga jenazah ingin mencopotnya setelah beberapa hari kematiannya pun masih dibolehkan” (https://binbaz.org.sa/fatwas/13525/)
Hal yang serupa juga disebutkan oleh Syaikh Muhammad bin Sholeh al-Utsaimin rahimahullah:
فالأسنان إذا احتاج الرجل إلى أن يضع له ضرسا أو سنا من الذهب فلا حرج عليه في هذا… وكذلك المرأة…. فإذا مات الميت وعليه شيء من هذا الذهب فإنه يجب خلعه؛ لأن في بقاءه مفسدتان: الأولى إنه إضاعة المال… والثانية تفويت هذا المال على مستحقه من الورثة… لكن إن حصل بذلك مثلى مثل ألا ينخلع إلا بانخلاع ما حوله من الأسنان مثلا أو الأضراس, أو كان يخشى الانفجار بخلعه فإنه لا بأس أن يبقى.
“Adapun gigi, apabila seorang laki-laki berkebutuhan untuk menambalnya maka tidak mengapa baginya menambal dengan emas, demikian juga halnya degan wanita, namun apabila seseorang meninggal dan ia memakai gigi palsu dari emas maka wajib baginya untuk menanggalkannya, karena jika tidak maka akan berdampak kepada dua kerusakan : pertama menyia-nyiakan harta, kedua menghilangkan hak ahli warisnya terhadap harta tersebut, akan tetapi jika dalam menanggalkan gigi tersebut berdampak pada menyakiti jenazah seperti copotnya gigi-gigi yang lain atau gusi di sekitarnya akibat mencopot gigi palsu tersebut, maka tidak mengapa gigi tersebut tetap di tempatnya (tidak dicopot) (Fatawa Nuur ‘alad Darbi: 9/2).
Adapun jika gigi palsu tersebut terbuat dari bahan selain emas, maka hal ini tidaklah mengapa terkubur bersama dengan jenazah tersebut, sebagaimana yang disebutkan oleh Imam Ibnu Qudamah rahimahullah:
وإن جبر عظمه بعظم فجبر, ثم مات لم ينزع, إن كان طاهرا
“JIka seseorang menambal tulangnya dengan sesuatu untuk dipulihkan, kemudian ia meninggal, maka tidak perlu dicopot tambalan tersebut, apabila ia adalah benda yang suci (bukan najis)” (Al-Mughni : 2/404)
Syaikh al-Utsaimin rahimahullah lebih detail menjelaskan:
أما ما لا قيمة له فلا بأس أن يدفن معه كالأسنان من غير الذهب والفضة, أما ما كان له قيمة فإنه يؤخذ, إلا إذا مان يخشى منه المثلة
“Adapun jika sebuah benda yang menempel pada tubuh jenazah itu tidak bernilai, seperti gigi palsu selain dari emas dan perak maka tidak mengapa dikuburkan bersama dengan jenazah tersebut, namun jika benda tersebut bernilai maka ia harus ditanggalkan, kecuali jika dikhawatirkan akan menyiksa jenazah” (Fatawa Asy-Syabakah al-Islamiyyah: 11/12756).
Allhu A’lam.

, Terimakasih telah mengunjungi Keimanan.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com, pasang iklan gratis Iklans.com dan join di komunitas Topoin.com.

Most Popular

To Top