Takwa

Definisi Zakat Pengertian Zakat Menurut Bahasa Dan Istilah

Definisi Zakat Pengertian Zakat Menurut Bahasa Dan Istilah

Definisi Zakat, Infaq, Dan Shadaqah
Oleh: Muhammad Shiddiq al-Jawi
Publikasi 28/01/2004

hayatulislam.net
– Zakat menurut bahasa artinya adalah “berkembang” (an namaa`) atau
“pensucian” (at tath-hiir). Adapun menurut syara’, zakat adalah hak yang
telah ditentukan besarnya yang wajib dikeluarkan pada harta-harta
tertentu (haqqun muqaddarun yajibu fi amwalin mu’ayyanah) (Zallum, 1983:
147).

Dengan
perkataan “hak yang telah ditentukan besarnya” (haqqun muqaddarun),
berarti zakat tidak mencakup hak-hak – berupa pemberian harta – yang
besarnya tidak ditentukan, misalnya hibah, hadiah, wasiat, dan wakaf.
Dengan perkataan “yang wajib (dikeluarkan)” (yajibu), berarti zakat
tidak mencakup hak yang sifatnya sunnah atau tathawwu’, seperti shadaqah
tathawwu’ (sedekah sunnah). Sedangkan ungkapan “pada harta-harta
tertentu” (fi amwaalin mu’ayyanah) berarti zakat tidak mencakup segala
macam harta secara umum, melainkan hanya harta-harta tertentu yang telah
ditetapkan berdasarkan nash-nash syara’ yang khusus, seperti emas,
perak, onta, domba, dan sebagainya.

Bagaimana
kaitan atau perbedaan definisi zakat ini dengan pengertian infaq dan
shadaqah? Al Jurjani dalam kitabnya At Ta’rifaat menjelaskan bahwa infaq
adalah penggunaan harta untuk memenuhi kebutuhan (sharful maal ilal
haajah) (Al Jurjani, tt: 39). Dengan demikian, infaq mempunyai cakupan
yang lebih luas dibanding zakat. Dalam kategorisasinya, infak dapat
diumpamakan dengan “alat transportasi” – yang mencakup kereta api,
mobil, bus, kapal, dan lain-lain – sedang zakat dapat diumpamakan dengan
“mobil”, sebagai salah satu alat transportasi.

Maka
hibah, hadiah, wasiat, wakaf, nazar (untuk membelanjakan harta), nafkah
kepada keluarga, kaffarah (berupa harta) – karena melanggar sumpah,
melakukan zhihar, membunuh dengan sengaja, dan jima’ di siang hari bulan
Ramadhan -, adalah termasuk infaq. Bahkan zakat itu sendiri juga
termasuk salah satu kegiatan infak. Sebab semua itu merupakan upaya
untuk memenuhi kebutuhan, baik kebutuhan pihak pemberi maupun pihak
penerima.

Dengan
kata lain, infaq merupakan kegiatan penggunaan harta secara konsumtif –
yakni pembelanjaan atau pengeluaran harta untuk memenuhi kebutuhan –
bukan secara produktif, yaitu penggunaan harta untuk dikembangkan dan
diputar lebih lanjut secara ekonomis (tanmiyatul maal).

Adapun istilah shadaqah, maknanya berkisar pada 3 (tiga) pengertian berikut ini:

Pertama,
shadaqah adalah pemberian harta kepada orang-orang fakir, orang yang
membutuhkan, ataupun pihak-pihak lain yang berhak menerima shadaqah,
tanpa disertai imbalan (Mahmud Yunus, 1936: 33, Wahbah Az Zuhaili, 1996:
919). Shadaqah ini hukumnya adalah sunnah, bukan wajib. Karena itu,
untuk membedakannya dengan zakat yang hukumnya wajib, para fuqaha
menggunakan istilah shadaqah tathawwu’ atau ash shadaqah an nafilah (Az
Zuhaili 1996: 916). Sedang untuk zakat, dipakai istilah ash shadaqah al
mafrudhah (Az Zuhaili 1996: 751). Namun seperti uraian Az Zuhaili (1996:
916), hukum sunnah ini bisa menjadi haram, bila diketahui bahwa
penerima shadaqah akan memanfaatkannya pada yang haram, sesuai kaidah
syara’:

“Al wasilatu ilal haram haram”

“Segala perantaraan kepada yang haram, hukumnya haram pula.”

Bisa
pula hukumnya menjadi wajib, misalnya untuk menolong orang yang berada
dalam keadaan terpaksa (mudhthar) yang amat membutuhkan pertolongan,
misalnya berupa makanan atau pakaian. Menolong mereka adalah untuk
menghilangkan dharar (izalah adh dharar) yang wajib hukumnya. Jika
kewajiban ini tak dapat terlaksana kecuali dengan shadaqah, maka
shadaqah menjadi wajib hukumnya, sesuai kaidah syara’:

“Maa laa yatimmul wajibu illa bihi fahuwa wajib”

“Segala sesuatu yang tanpanya suatu kewajiban tak terlaksana sempurna, maka sesuatu itu menjadi wajib pula hukumnya”

Dalam
‘urf para fuqaha, sebagaimana dapat dikaji dalam kitab-kitab fiqh
berbagai madzhab, jika disebut istilah shadaqah secara mutlak, maka yang
dimaksudkan adalah shadaqah dalam arti yang pertama ini – yang hukumnya
sunnah – bukan zakat.

Kedua,
shadaqah adalah identik dengan zakat (Zallum, 1983: 148). Ini merupakan
makna kedua dari shadaqah, sebab dalam nash-nash syara’ terdapat lafazh
“shadaqah” yang berarti zakat. Misalnya firman Allah SWT:
“Sesungguhnya zakat-zakat itu adalah bagi orang-orang fakir, orang-orang miskin, amil-amil zakat …” (Qs. At-Taubah [9]: 60).

Dalam
ayat tersebut, “zakat-zakat” diungkapkan dengan lafazh “ash shadaqaat”.
Begitu pula sabda Nabi SAW kepada Mu’adz bin Jabal RA ketika dia diutus
Nabi ke Yaman:
“…beritahukanlah
kepada mereka (Ahli Kitab yang telah masuk Islam), bahwa Allah telah
mewajibkan zakat atas mereka, yang diambil dari orang kaya di antara
mereka, dan diberikan kepada orang fakir di antara mereka…” [HR.
Bukhari dan Muslim].

Pada hadits di atas, kata “zakat” diungkapkan dengan kata “shadaqah”.

Berdasarkan
nash-nash ini dan yang semisalnya, shadaqah merupakan kata lain dari
zakat. Namun demikian, penggunaan kata shadaqah dalam arti zakat ini
tidaklah bersifat mutlak. Artinya, untuk mengartikan shadaqah sebagai
zakat, dibutuhkan qarinah (indikasi) yang menunjukkan bahwa kata
shadaqah -dalam konteks ayat atau hadits tertentu – artinya adalah zakat
yang berhukum wajib, bukan shadaqah tathawwu’ yang berhukum sunnah.
Pada ayat ke-60 surat At Taubah di atas, lafazh “ash shadaqaat”
diartikan sebagai zakat (yang hukumnya wajib), karena pada ujung ayat
terdapat ungkapan “faridhatan minallah” (sebagai suatu ketetapan yang
diwajibkan Allah). Ungkapan ini merupakan qarinah, yang menunjukkan
bahwa yang dimaksud dengan lafazh “ash shadaqaat” dalam ayat tadi,
adalah zakat yang wajib, bukan shadaqah yang lain-lain.

Begitu
pula pada hadits Mu’adz, kata “shadaqah” diartikan sebagai zakat,
karena pada awal hadits terdapat lafazh “iftaradha”
(mewajibkan/memfardhukan). Ini merupakan qarinah bahwa yang dimaksud
dengan “shadaqah” pada hadits itu, adalah zakat, bukan yang lain.

Dengan demikian, kata “shadaqah” tidak dapat diartikan sebagai “zakat”, kecuali bila terdapat qarinah yang menunjukkannya.

Ketiga,
shadaqah adalah sesuatu yang ma’ruf (benar dalam pandangan syara’).
Pengertian ini didasarkan pada hadits shahih riwayat Imam Muslim bahwa
Nabi SAW bersabda : “Kullu ma’rufin shadaqah” (Setiap kebajikan, adalah
shadaqah).

Berdasarkan
ini, maka mencegah diri dari perbuatan maksiat adalah shadaqah, memberi
nafkah kepada keluarga adalah shadaqah, beramar ma’ruf nahi munkar
adalah shadaqah, menumpahkan syahwat kepada isteri adalah shadaqah, dan
tersenyum kepada sesama muslim pun adalah juga shadaqah.

Agaknya
arti shadaqah yang sangat luas inilah yang dimaksudkan oleh Al Jurjani
ketika beliau mendefiniskan shadaqah dalam kitabnya At Ta’rifaat.
Menurut beliau, shadaqah adalah segala pemberian yang dengannya kita
mengharap pahala dari Allah SWT (Al Jurjani, tt : 132). Pemberian (al
‘athiyah) di sini dapat diartikan secara luas, baik pemberian yang
berupa harta maupun pemberian yang berupa suatu sikap atau perbuatan
baik.

Jika demikian
halnya, berarti membayar zakat dan bershadaqah (harta) pun bisa
dimasukkan dalam pengertian di atas. Tentu saja, makna yang demikian ini
bisa menimbulkan kerancuan dengan arti shadaqah yang pertama atau
kedua, dikarenakan maknanya yang amat luas. Karena itu, ketika Imam An
Nawawi dalam kitabnya Sahih Muslim bi Syarhi An Nawawi mensyarah hadits
di atas (“Kullu ma’rufin shadaqah”) beliau mengisyaratkan bahwa shadaqah
di sini memiliki arti majazi (kiasan/metaforis), bukan arti yang hakiki
(arti asal/sebenarnya). Menurut beliau, segala perbuatan baik dihitung
sebagai shadaqah, karena disamakan dengan shadaqah (berupa harta) dari
segi pahalanya (min haitsu tsawab). Misalnya, mencegah diri dari
perbuatan dosa disebut shadaqah, karena perbuatan ini berpahala
sebagaimana halnya shadaqah. Amar ma’ruf nahi munkar disebut shadaqah,
karena aktivitas ini berpahala seperti halnya shadaqah. Demikian
seterusnya (An Nawawi, 1981: 91).

Walhasil,
sebagaimana halnya makna shadaqah yang kedua, makna shadaqah yang
ketiga ini pun bersifat tidak mutlak. Maksudnya, jika dalam sebuah ayat
atau hadits terdapat kata “shadaqah”, tak otomatis dia bermakna segala
sesuatu yang ma’ruf, kecuali jika terdapat qarinah yang menunjukkannya.
Sebab sudah menjadi hal yang lazim dan masyhur dalam ilmu ushul fiqih,
bahwa suatu lafazh pada awalnya harus diartikan sesuai makna hakikinya.
Tidaklah dialihkan maknanya menjadi makna majazi, kecuali jika terdapat
qarinah. Sebagaimana diungkapkan oleh An Nabhani dan para ulama lain,
terdapat sebuah kaidah ushul menyebutkan:

“Al Ashlu fil kalaam al haqiqah.”

“Pada
asalnya suatu kata harus dirtikan secara hakiki (makna aslinya).”
(Usman, 1996: 181, An Nabhani, 1953: 135, Az Zaibari: 151).

Namun
demikian, bisa saja lafazh “shadaqah” dalam satu nash bisa memiliki
lebih dari satu makna, tergantung dari qarinah yang menunjukkannya. Maka
bisa saja, “shadaqah” dalam satu nash berarti zakat sekaligus berarti
shadaqah sunnah. Misalnya firman Allah:
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka…” (Qs. At-Taubah [9]: 103).

Kata
“shadaqah” pada ayat di atas dapat diartikan “zakat”, karena kalimat
sesudahnya “kamu membersihkan dan mensucikan mereka” menunjukkan makna
bahasa dari zakat yaitu “that-hiir” (mensucikan). Dapat pula diartikan
sebagai “shadaqah” (yang sunnah), karena sababun nuzulnya berkaitan
dengan harta shadaqah, bukan zakat. Menurut Ibnu Katsir (1989: 400-401)
ayat ini turun sehubungan dengan beberapa orang yang tertinggal dari
Perang Tabuk, lalu bertobat seraya berusaha menginfakkan hartanya. Jadi
penginfakan harta mereka, lebih bermakna sebagai “penebus” dosa daripada
zakat.

Karena itu,
Ibnu Katsir berpendapat bahwa kata “shadaqah” dalam ayat di atas
bermakna umum, bisa shadaqah wajib (zakat) atau shadaqah sunnah (Ibnu
Katsir, 1989: 400). As Sayyid As Sabiq dalam kitabnya Fiqhus Sunnah Juz I
(1992: 277) juga menyatakan, “shadaqah” dalam ayat di atas dapat
bermakna zakat yang wajib, maupun shadaqah tathawwu’. [ ]
REFERENSI

An Nabhani, Taqiyyudin. Asy Syakhshiyah Al Islamiyah Juz III. tp. Al Quds. Cet. II. 1953
An Nabhani, Taqiyyudin. An Nizham Al Iqtishadi fi Al Islam. Darul Ummah. Beirut cetakan IV, 1990
An Nabhani, Taqiyyudin. Muqaddimah Dustur. tp. t-tp. 1963
An Nawawi. Sahih Muslim bi Syarhi An Nawawi Juz VII. Darul Fikr. Beirut. 1982
As Sabiq, As Sayyid. Fiqhus Sunnah Juz I . Darul Fikr. Beirut. 1992.
Az Zaibari, Amir Sa’id. Kiat Menjadi Pakar Fiqih. Gema Risalah Press. Bandung. 1998
Az Zuhaili, Wahbah. Al Fiqhul Islami wa Adillatuhu Juz II. Darul Fikr. Damaskus. 1996
Ibnu Katsir. Tafsir al Qur`an Al Azhim Juz II. Darul Ma’rifah. Beirut. Cetakan III. 1989
Ulwan, Abdullah Nasih. Hukum Zakat Dalam Pandangan Empat Mazhab. Litera Antar Nusa. Jakarta. 1985
Usman, Muhlish. Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah. Raja Grafindo Perkasa. Jakarta. cetakan I. 1996
Yunus, Mahmud. Al Fiqhul Wadhih Juz II. Maktabah As Sa’diyah Putra. Padang. 1936
Zallum, Abdul Qadim. Al Amwal fi Daulatil Khilafah. Darul Ilmi lil Malayin. Beirut. cetakan I, 1983.

Sumber: Politik Ekonomi Islam
http://www.e-syariah.cjb.net/

Definisi Zakat Pengertian Zakat Menurut Bahasa Dan Istilah

, Terimakasih telah mengunjungi Keimanan.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com, pasang iklan gratis Iklans.com dan join di komunitas Topoin.com.

Most Popular

To Top