Headline

[#AYTKTM] Pelitaku, Cahaya Qur’an

Islamedia Pelita ilmu senantiasa berlari estafet,
terkadang ia berlari dengan cepat, dan kadangkala ia melamban bagi mereka yang
senantiasa menimbanya hingga ke dasar. Begitulah ilmu mensifatkan dirinya,
perbedaan interpretasi tentu saja bergantung pada orang yang memandangnya,
apakah ia indah ataukah tidak? Selain itu, ilmu tentu saja akan menyegarkan
bagi orang yang menggalinya bak oase di tengah padang pasir. Tapi tentu saja ia
tidak akan pernah bisa untuk diabaikan. Karena ia seperti udara yang kita
hirup. 
Ia pun seperti air yang senantiasa mengalir dan dibutuhkan. Warisan
berupa ilmu agama yang Rasul wariskan memiliki misi yang mulia untuk mencetak
kaum ‘toifah tafaquh fiddin’ (yaitu orang yang mengajarkan agama). Ilmu hanya
memerlukan dua hal untuk bisa senantiasa bersinar yang pertama adalah esensi
kebermanfaatan ilmu itu sendiri. Sedangkan hal terpenting lainnya adalah
integritas yang memunculkan ketulusan bagi distribusi ilmu yang dipersembahkan
oleh muallim kepada sasaran tembak ilmu itu yang tidak salah adalah masyarakat.

Heterogenitas masyarakat menempatkan proses
komunikasi ilmu itu sendiri bagi sebagian orang bukan sebuah hal yang mudah.
Sulitkah? Bisa jadi. Ilmu itu seperti halnya cahaya, ia menerangi setiap apa
yang ada di sekitarnya. Ia memilih kasihnya, tapi ia memberikannya kepada
siapapun yang ada di sekelilingnya. Seorang teman berkata bahwa dakwah ibarat
seperti celebrium, meski memiliki tikungan tapi yang ia perdulikan hanyalah
menerangi di manapun dan sebagai apa pun kita. Tidak salah memang, seringkali
analogi yang kita dapatkan dari sebuah pelita adalah “pelita dengan tulus
menerangi, meski dia membakar dirinya sendiri”. 
Mari membuka sebuah analogi baru, jika kita
sendiri mengibaratkan diri kita sebagai lebah sang penghasil madu. Lebah
menyebarkan serbuk-serbuk bunga ke kepala putik di mana pun taman itu berada.
Tidak perduli apakah yang ia temukan hanya serumpun tanaman bunga atau
komunitas. Cahaya bisa juga diibaratkan seperti air, selalu bergerak, dinamis
dan tidak pernah statis. Ia mampu memasuki setiap celah, sekalipun ke celah
tersempit yang tidak ada satu pun tangan mampu memasukinya. Kedalam gua yang
gelap. Pekat. Atau ke laut yang biru. 
Aku menemukan garis silsilah dengan latar
cerita apik di dalamnya juga melalui ilmu. Ilmu itu ibarat air, jika kita ingin
mengambilnya untuk berbagai keperluan. Maka kita memerlukan gayung dan gayung
itulah sebenarnya yang berperan sangat penting. Gayung itulah yang menjadi
sarana kita mendapatkan airnya. Itulah pentingnya peran membaca. Ya, gayung itu
adalah membaca. Sebagaimana pesan indah yang diberikan Allah untuk Pemimpin
para ilmuwan, ialah Rasulullah saw yang menerima pesan
pertamanya berupa perintah membaca. Bahan bacaannya berasal dari semesta.
Bagaimana air mengalir, udara berhembus, bintang berkerjapan, bahkan hingga
semesta beserta penghuninya bertasbih dengan suaranya yang berbisik.
Aku beruntung kini pelita ilmuku masih
menyala, meski tidak lagi sebenderang kala masa mudanya memeluk. Ya, kini
pelita itu menyala dengan tergopoh-gopoh melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur’an
kepada mereka yang buta dan gersang. Ibundaku lah yang menjadi pelita bagi
orang di sekelilingnya, mengajarkan pentingnya membaca Al-Qur’an meski banyak
diantara mereka mengabaikan maksud dan makna yang terkandung dalam setiap
katanya. Baru aku tahu bahwa ia mewarisi kecintaannya terhadap ilmu agama dari
kakeknya. Kakek yang tidak pernah aku lihat bahkan aku dengar suaranya. Ia
menginspirasi bundaku untuk terus berjuang dan berdakwah. Sudah hampir lima
puluh tahun ini beliau bergelut dalam lingkaran dakwah dengan mengajarkan huruf
demi huruf kepada siapa saja santrinya yang berkeinginan untuk mengaji. Lima
puluh tahun, tentu bukan waktu yang singkat dalam menegakkan perjuangan
menegakkan cahaya Al-Qur’an. Sebanyak waktu itulah ia merenda keriput di
wajahnya. 
Alkisah ia mengajarkan Al-Qur’an di sebuah
ruangan sempit di rumahnya, dimana saja menurutnya asalkan menampung para
santrinya. Oh iya aku lupa menjelaskan bahwa ia adalah satu-satunya lulusan
sebuah pondok pesantren di masanya dulu. Masa dimana para pribumi masih sibuk
mengangkat bambu runcing demi mempersembahkan sebuah kemerdekaan untuk kita,
para pewarisnya. Lulus dari sebuah pondok pesantren menjadi modal yang sangat
besar baginya untuk menceburkan dirinya dalam aktifitas ini. Dengan bayaran
senyuman ataupun doa dari para santrinya, itulah hal yang paling menyenangkan
baginya. Apa pun kondisinya meskipun badai maupun petir melanda selama para
santrinya bertandang ke rumah sederhananya, tidak akan pernah ditolak.
Zaman supra-modern kini menancapkan kukunya
yang tajam, merangsang anak-anak untuk mengabaikan dan mengesampingkan kegiatan
belajar mengaji. Ini adalah tantangan terberat baginya, meskipun kadang ia
harus menyusuri setiap pintu untuk mengajak kembali anak-anak mengaji. Dan
disinilah tantangan selanjutnya lahir, bagaimana juga menumbuhkan pentingnya
belajar mengaji Al-Qur’an tidak hanya kepada anak-anak melainkan kepada orang
tuanya sekaligus. Tantangan modernitas dan hedonisme yang mulai mengusik sendi
agama. 
Dan “serulah (manusia) kepada
jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan
cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa
yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang
mendapat petunjuk. Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan
balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Akan tetapi, jika
kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang
bersabar. Bersabarlah (hai Muhammad) dan tiadalah kesabaranmu itu melainkan
dengan pertolongan Allah. Janganlah kamu bersedih hati terhadap (kekafiran)
mereka dan janganlah kamu bersempit dada terhadap apa yang mereka tipu dayakan.
Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan berbuat kebaikan
”.
(an-Nahl: 125-128)
Berdakwah dengan hikmah, menguasai keadaan dan
kondisi (zuruf) mad’un-nya, serta batasan-batasan yang disampaikan setiap kali
ia jelaskan kepada mereka. Sehingga, tidak memberatkan dan menyulitkan mereka
sebelum mereka siap sepenuhnya. Juga metode yang digunakan dalam menghadapi
mereka. Semua keberagaman cara ini harus disesuaikan dengan
konsekuensi-konsekuensinya. Jangan berlebih-lebihan. 
Berdakwah juga harus dengan cara ‘mau’izah
hasanah’
nasihat yang baik yang bisa menembus hati manusia dengan lembut dan
diserap oleh hati nurani dengan halus. Bukan dengan bentakan dan kekerasan
tanpa ada maksud yang jelas. Begitu pula tidak dengan cara membeberkan kesalahan-kesalahan
yang kadang terjadi tanpa disadari atau lantaran ingin bermaksud baik. Karena
kelembutan dalam memberikan nasihat akan lebih banyak menunjukkan hati yang
bingung, menjinakkan hati yang membenci, dan memberikan banyak kebaikan
ketimbang bentakan, gertakan, dan celaan. Inilah manhaj dakwah dan dusturnya
(undang-undang) yang membingkai dakwah. 

May Nashiroh

Cirebon, Jawa Barat 



[LOMBA#AYTKTM]


, Terimakasih telah mengunjungi Keimanan.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com, pasang iklan gratis Iklans.com dan join di komunitas Topoin.com.

Most Popular

To Top