Studi kitab hadis merupakan salah satu medan kajian yang menarik dan cukup
signifikan. Hal itu untuk mengetahui karakteristik atau keunikan yang dimilki
kitab tersebut dibanding dengan kitab hadis yang lain. Sebab, sudah dimaklumi
bahwa kitab-kitab hadis cukup banyak dan beragam baik dari segi metode, corak
maupun sistematikanya, yang disebabkan oleh kecenderungan penyusun
masing-masing kitab serta kondisi sosio-budaya sekelilingnya.
Apalagi kalau kitab tersebut merupakan kitab syarah yang menghuraikan tafsiran
terhadap hadis-hadis Nabi. Hal itu tak kalah pentingnya, untuk membedah
pemikiran sang pensyarah terhadap hadis-hadis Nabi dengan berbagai sisi yang
mungkin ikut mempengaruhinya baik internal maupun eksternal. Kerana salah satu
hal yang sering dijumpai dalam masyarakat adalah pemikiran seorang ulama begitu
mudah dianut dan pada akhirnya menjadi paradigma tersendiri, tanpa diperhatikan
terlebih dahulu hal-hal yang mendasari munculnya pemikiran itu.
Oleh kerana itu, makalah ini akan mengetengahkan huraian tentang Kitab Nailul Maram, salah satu kitab syarah
terhadap Bulugh al-Maram karya Imam Ibnu Hajar al-Asqalani. Huraian tersebut
menyangkut beberapa aspek, iaitu biografi Muhammad bin Yasin, penyusun kitab
Nail al-Maram ini, metode penyusunan, serta isi atau beberapa contoh syarahnya
terhadap hadis-hadis Nabi.
Biografi ringkas Penyusun
Penulis tidak menemui sumber rujukan
yang menjelaskan biografi Muhammad bin Yasin ini selain pada kitab Nail
al-Maram itu sendiri. Oleh kerana itulah, informasi yang komprehensif tentang
latarbelakang ulama ini tidak dapat penulis sajikan. Nama lengkapnya adalah Muhammad
bin Yasin bin Abdillah, dilahirkan pada tahun 1343 H/1925 M. Ia belajar
ilmu-ilmu dasar pada beberapa syekh di Senjar di antaranya: Syeikh Yunus
al-Bikry, Sayyid Nasir, Ahmad Abdul Hamid al-Hamdani dan lain sebagainya.
Selanjutnya ia berkelana menuntutilmu ke Moushul dan berguru kepada Syeikh ‘Abdullah
al-Nikmat, Syeikh Umar al-Nikmat, Syeikh Basyir al-Shiqal, Sheikh Abdul Ghani
al-Jabbar dan Sheikh Mala Usman al-Jaburi.
Nuhammad bin Yasin menimba ilmu pendidikan tingginya di Kota Baghdad di Fakulti
Syariah di bawah bimbingan Syeikh al-Haj Hamdy al-A`zamy, Qasim al-Qaisy, Abdul
Qadir al-Khatib, Najmuddin al-Wa`idz dan lain sebagainya. Pada tahun 1386 H
bertepatan dengan tahun 1966 M. beliau memperoleh ijazah daripada Sheikh Basyir
al-Shiqal.
Metode dan Sistematika Penyusunan
Kitab Nail al-Maram ini terdiri dari dua jilid, setiap jilidnya terdiri atas
dua juz perbahasan. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Muhammad bin Yasin
sendiri, kitab ini bukanlah satu-satunya syarah terhadap Bulugh al-Maram karya
Ibnu Hajar al-Asqalani, sebelumnya telah muncul kitab Subul al-Salam karya Muhammad bin Ismail al-Kahlani al-Shan`ani (lebih
dikenali dengan al-Shan`ani 1183 H) dan selanjutnya kitab Fath al-‘Allam karya Syekh Abu al-Thayyib Shadiq bin Hasan bin Ali
al-Husaini.
Meski pun demikian, kitab ini memiliki aspek perbezaan dengan kedua kitab
syarah tersebut. Nail al-Maram ini disusun dengan mengikuti sistematik kitab
Bulugh al-Maram yang disyarahkannya. Namun penyajian penjelasannya terhadap
hadis-hadis yang dimuatnya agak ringkas. Keringkasannya tersebut dapat dilihat
pada tidak adanya pembahasan gramatikal (tata bahasa) terhadap mufradat hadis,
tidak adanya penjelasan biografi rawi hadis yang disyarahkannya, demikian pula
pendapat ulama yang dikemukakannya pun terbatas pada ulama-ulama masyhur saja,
seperti para Imam Mazhab, Imam al-Nawawi dan sebagainya. Hal ini sangat berbeza
dengan kitab Subul al-Salam misalnya, yang kadang kala menimbulkan kejenuhan
untuk membacanya kerana pembahasan gramatikalnya yang terlalu panjang.
Sebagai contoh yang boleh dibaca adalah hadis tentang larangan memakan daging
Himar jinak. Ketika memberi komentarnya terhadap hadis ini, Muhammad bin Yasin seolah-olah membawa para
pembaca kepada satu pendapat sahaja, iaitu keharamannya secara mutlak.
Padahal, Ibnu Abbas, salah seorang sahabat Nabi yang terkemuka dalam tafsir dan
hadis, memiliki pendapat yang lain. Menurut Ibnu ‘Abbas, daging himar jinak
tidak haram. Ini tidak bererti bahwa Ibnu Abbas tidak mengakui larangan hadis
tersebut. Beliau tetap mengakui hadis tersebut bersumber dari Nabi saw, tetapi
tidak mengakui kemutlakan hukum hadis tersebut, dalam erti kata tidak berlaku
secara umum dan berkekalan atau tidak mengikat. Ibnu ‘Abbas memandang hadis
tersebut sebagai ketetapan Nabi dalam posisi beliau sebagai pemimpin dan ketua negara
yang berkaitan dengan manifestasi kemaslahatan umat, atau untuk menghindari
suatu kerosakan ekosistem pada waktu itu. Kemaslahatan yang dimaksudkan adalah
menjaga himar dari kepupusan jika masyarakat sesuka hati menyembelih dan
memakannya, sedangkan ia sangat diperlukan sebagai kenderaan.
Hujah dan dalil yang dikemukakan oleh Ibnu Abbas berdasarkan ayat 145 dari surah al-An’am.
Di samping ayat tersebut, Ibnu Abbas juga berdalil dan berhujah dengan sebuah
hadis, ia menceritakan bahwa pada suatu hari salah seorang sahabat,Ghalib bin Abjar,
mengadu kepada Nabi. Ia
mengatakan wahai Rasulullah, kami sangat susah tahun ini, dan tidak ada yang boleh
dimakan oleh keluarga kami kecuali Himar Jinak. Sementara anda telah
mengharamkannya. Nabi menjawab, berikanlah kepada keluargamu untuk makanan
mereka. Saya mengharamkannya hanya karena binatang tersebut adalah kendaraan di
kampung (جوالة القرية).
Dari sudut metodologinya dapat digambarkan bahawa Muhammad bin Yasin mensyarah hadis-hadis
Bulugh al-Maram dengan kaedah berikut:
1. Mengemukakan hadis-hadis yang akan dibahas secara lengkap disertai mukharrij dan hukum Ibnu
Hajar terhadap hadis tersebut. Pemaparan hadis pada bahagian tersendiri ini
memudahkan pembaca untuk mengenali hadis tanpa “terganggu” dengan
komentar pensyarah. Teknik ini berbeza dengan Subul al-Salam misalnya, yang
langsung mengomentari dan membahagi dengan beberapa kelompok kalimat hadis.
2. Mengemukakan pendapat dan penjelasan para ulama sekitar makna hadis
tersebut. Penjelasan kandungan hadis pada bahagian ini merupakan bahagian
tersendiri yang dikelompokkan oleh Muhammad bin Yasin pada bahagian al-Syarh.
Di samping itu, ketika menjelaskan makna hadis, Muhammad bin Yasin berpijak
pada matan hadis secara keseluruhan, bukan pada potongan kalimat-kalimat hadis
yang diberikan “tanda kurung” sebagaimana dengan Subul al-Salam.
3. Mengkritik pendapat para ulama. Dalam hal ini apabila pendapat ulama
tersebut berdasarkan hadis, maka Muhammad bin Yasin mengkritiknya dari segi
otentisitas hadis yang dirujuk. Sehingga dengan cara ini, ia tidak segan-segan
menolak suatu pendapat karena kedhaifan hadis yang dipeganginya.
4. Mengkomfirmasi penjelasannya dengan ayat-ayat al-Qur`an.
5. Kalau hadis tersebut ada bertentangan, maka Muhammad bin Yasin akan mentarjih
salah satu pendapat yang terkuat. Pemilihan tersebut dilakukan pada pendapat
yang secara tekstual- disandarkan dengan dalil-dalil yang lebih kuat, baik
berupa nash al-Qur`an, hadis-hadis sahih, maupun yang telah disepakati oleh majoriti
ulama. Pemilihan salah satu pendapat ini biasanya diungkapkan dengan أقول (saya berpendapat),
atau أصحابنا قال .
Sekadar contoh, berikut akan dikemukakan teknik syarah Muhammad bin Yasin pada
beberapa masalah.
1. Bersentuhan dengan Perempuan, membatalkan wuduk atau tidak?
Hadis: أن النبي صلى الله عليه وسلم قبل بعض نسائه ثم خرج إلى الصلاة ولم يتوضأ
Sebelum mengemukakan pendapatnya, Muhammad bin Yasin mengutip penjelasan Imam
al-Nawawi tentang perdebatan di kalangan ulama seputar pesan hukum yang diusung
oleh hadis di atas. Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa bersentuhan dengan perempuan tidak
membatalkan wuduk. Dalilnya, hadis yang diriwayatkan oleh Abi Waraq dari
Ibrahim al-Taimi dari Aisyah bahwasanya Nabi saw. Setelah berwudhu, mencium
istrinya dan tidak berwudhu kembali. Ditambah lagi dengan hadis yang lain,
bahwa Aisyah bercerita, suatu malam Nabi melaksanakan shalat lail, ketika sujud
beliau menyentuh kaki Ummul Mukminin tersebut.
Muhammad bin Yasin menjawab pendapat di atas dengan ayat al-Qur`an: أولامستم النساء . mengenai hadis Abi
Waraq di atas, Muhammad bin Yasin
berpendapat bahwa hadis tersebut di-dhaif-kan oleh Ibnu Main dan kritikus yang
lain. Di samping itu, Ibrahim al-Taimi, rawi yang menerima hadis tersebut dari
Aisyah, tidak mendengarnya secara langsung dari beliau, sebagaimana yang
diungkapkan oleh para hafidz semisal Abu Daud. Dari sini dapat dipahami bahwa
hadis tersebut-menurut Muhammad bin Yasin- dhaif dan mursal.
Sementara hadis Aisyah yang kakinya disentuh oleh Nabi pada saat shalat lail,
Muhammad bin Yasin menduga ada pelapis (حائل) yang mengantarai
sebagaimana biasanya dengan orang tidur. Dengan demikian, Muhammad bin Yasin
tetap berpandangan bahwa bersentuhan kulit dengan perempuan akan membatalkan
wudhu.
2. Kedudukan Wali dalam Pernikahan
Dalam menjelaskan hadis di atas, Muhammad bin Yasin mengutip penjelasan Imam al-Nawawi tentang
kontroversi ulama menyangkut kedudukan wali dalam sebuah pernikahan. Imam Malik
dan Imam Syafii berpendapat disyaratkan dan tidak sah sebuah pernikahan tanpa
wali, sementara Abu Hanifah berpendapat lain. Menurutnya, Wali tidak
disyaratkan dalam pernikahan baik janda maupun gadis, bahkan seorang gadis
-lanjut Imam Abu Hanifah- berhak menikahkan dirinya tanpa persetujuan walinya.
Muhammad bin Yasin berpendapat bahwa seorang perempuan berhak menikahkan
dirinya sendiri apabila sekufu`, dan kalau tidak, maka wali berhak membatalkan
pernikahannya. Dalam hal ini, Imam Abu Daud berpendapat bahwa wali disyaratkan
pada pernikahan seorang gadis, sedangkan pada janda tidak disyaratkan.
Dalilnya, adalah hadis pada sahih Muslim dengan jelas membedakan antara gadis
dan janda. Seorang janda berhak dengan dirinya sendiri, sementara gadis harus
dimintai izinnya atau persetujuannya. Muhammad bin Yasin menanggapi pendapat
tersebut bahawa yang dimaksud dengan berhak dengan dirinya sendiri adalah tidak
boleh dipaksa dan berhak menentukan pasangannya (bukan berhak menikahkan
dirinya sendiri tanpa wali). Dalam hal ini Muhammad bin Yasin sependapat dengan
Imam Malik dan Imam Syafii yang secara tekstual berpegang pada keumuman hadis masyhur بولي إلا
لانكاح
Kritikan
Setelah mencermati beberapa huraian Muhammad bin Yasin dalam karyanya ini, ada
beberapa catatan yang perlu dikemukakan, di antaranya:
- Metode
praktis yang ditempuh oleh Muhammad bin Yasin dalam mensyarahi hadis-hadis
hukum Bulugh al-Maram tersebut yang
membatasinya pada pendapat masyhur semata terkesan justeru
“mereduksi” makna hadis. Namun
demikian, hemat penulis, perlu diteliti lebih lanjut latarbelakang
penyusunan kitab ini. Sebab tidak dipungkiri bahwa pemilihan suatu metode
sangat terkait dengan keadaan komuniti pembaca, sasaran penyusunan dari
kitab ini. Salah satu contohnya, kitab Tafsir Jalalain yang oleh sebahagian
kalangan hanya dianggap sebagai kitab terjemahan, bukan kitab tafsir.
Namun menurut salah seorang dekan tafsir pasca UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, bentuk dan metode tafsir tersebut tak terlepas dari keadaan
komuniti yang disasarkan tafsir itu. Mereka adalah santri yang tahap pendidikannya
setingkat Tsanawiyah, sehingga sangat bijak apabila Jalaluddin al-Mahalli
dan Jalaluddin al-Sayuti menempuh metode sesederhana itu. Sangat tidak
tepat menilai sebuah karya seseorang tanpa menelusuri
pertimbangan-pertimbangan dan latarbelakang sosial yang mungkin
mempengaruhi lahirnya karya tersebut.
- Hal lain yang perlu dicermati dari kitab ini
adalah Muhammad bin Yasin sama sekali tidak mempertimbangkan aspek latar
belakang hadis, baik yang sifatnya mikro (sabab wurud) maupun makro
(sosio-antrpologis). Padahal itu penting, apalagi hadis-hadis yang
dikajinya adalah hadis-hadis hukum, yang muncul dari proses interaksi
antara Nabi sang pembawa risalah dengan realiti masyarakat saat itu.
Mempertimbangkan aspek latar belakang sesuatu hadis tersebut memungkinkan munculnya
makna-makna baru yang lebih akomodatif terhadap perubahan dan perkembangan
zaman. Namun perlu dimaklumi bahwa aspek latar
belakang hadis-hadis Nabi memang belum menarik bagi hampir seluruh ulama hadis
masa lalu. Mereka masih bergelut seputar pada kajian-kajian sanad dan
kebahasaan tanpa mempertimbangkan berbagai latarbelakang munculnya hadis-hadis
tersebut. Dengan meminjam istilah ilmu tafsir, mungkin dapat dikemukakan bahwa
pada umumnya mereka menganut kaedah: العبرة بعموم اللفظ لا بخصوص السبب ,
padahal dalam hadis sejatinya kaedah: العبرة بخصوص السبب لابعموم اللفظ mendapatkan prosentase lebih besar.
Penutup
Demikian huraian tentang kitab Nail al-Maram ini sebagai pengantar diskusi
kelas dengan harapan peserta diskusi dapat memberikan saran-saran konstruktif
dan informasi untuk penegembangan kajian ini selanjutnya.
bertajuk MANHAJ SYARAH MUHAMMAD BIN YASIN TERHADAP KITAB BULUGH AL-MARAM
(Studi atas Kitab Nail al-Maram) yang dinukil dari pautan berikut:

, Terimakasih telah mengunjungi Keimanan.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com, pasang iklan gratis Iklans.com dan join di komunitas Topoin.com.